Adapun Arab Musta’ribah, mereka merupakan cikal bakal dari nenek moyang mereka yang tertua Ibrahim ‘Alaihis-Salam, yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah kota yang disebut Ar, dan terletak di pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak upaya penggalian dan pengeboran yang dilakukan untuk mengungkap rincian yang mendetail tentang kota ini dan keluarga Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam serta kondisi religius dan sosial yang ada di negeri itu.
Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim ‘
Alaihis Salam hijrah dari Iraq ke Hâran atau Hirran, termasuk pula ke
Palestina, dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan/markas dakwah
beliau. Beliau banyak menyusuri pelosok negeri ini dan lainnya[1], dan
beliau pernah sekali mengunjungi Mesir. Fir-‘aun (sebutan bagi penguasa
Mesir) kala itu berupaya untuk melakukan tipu daya dan niat buruk
terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah membalas tipu dayanya (senjata
makan tuan). Dan tersadarlah Fir’aun itu betapa kedekatan hubungan
Sarah dengan Allah hingga akhirnya ia jadikan anaknya,[2] Hajar sebagai
abdinya (Sarah). Hal itu dia lakukan sebagai tanda pengakuannya terhadap
keutamaannya, kemudian dia (Hajar) dikawinkan oleh Sarah dengan
Ibrahim.[3] Ibrahim Alaihis Salam kembali ke Palestina dan Allah
menganugerahinya Isma’il dari Hajar. Sarah terbakar api cemburu. Dia
memaksa Ibrahim untuk mengekstradisi Hajar dan putranya yang masih
kecil, Isma’il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan
mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman (gersang dan
tandus) di sisi Baitul Haram, yang saat itu hanyalah berupa
gunduka~gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim,
Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan mereka berdua di dalam
tenda, diatas mata air zamzam, bagian atas masjid. Dan pada saat itu
tak ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada mata air.
Beliau meletakkan didekat mereka kantong kulit yang berisi kurma, dan
wadah air. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Berselang
beberapa hari kemudian, bekal dan air pun habis. Sementara tidak ada
mata air yang mengalir. Disana tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat
karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka
berdua hingga batas waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini sudah banyak
diketahui secara lengkapnya.[4]
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua)
datang setelah itu dan bermukim di Mekkah atas perkenan dari ibu Isma’il
. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu,
tepatnya di lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Bukhari
menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Isma’il
dan ibunya, sebelum Isma’il menginjak remaja. Mereka sudah biasa
melewati lembah Makkah ini sebelum itu.[5]
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke
Makkah untuk menjenguk keluarganya. Dalam hal ini tidak diketahui berapa
kali kunjungan/perjalanan yang dilakukannya, Hanya saja menurut
beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan
sebanyak empat kali. Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an, bahwa
Dia Ta’ala memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya seolah-olah dia
menyembelih anaknya, Isma’il. Maka beliau langsung melaksanakan perintah
ini. Allah ta’ala berfirman :
“Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim menbaringkan onaknya atar pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan, kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
telah mrmbenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar. ” (Ash-Shaffat: 103-107).
Disebutkan di dalam Perjanjian Lama
Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Isma’il selisih tiga belas tahun
lebih tua dari Ishaq. Secara tekstual, kisah ini menunjukkan bahwa
peristiwa itu tejadi sebelum kelahiran Ishaq sebab kabar gembira tentang
kelahiran Ishaq disampaikan setelah pengupasan kisah ini secara
keseluruhan.
Setidak-tidaknya kisah ini mengandung
satu kisah perjalanan sebelum Isma’il menginjak remaja. Sedangkan tiga
kisah selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara panjang
lebar dari Ibnu ‘Abbas secara marfu'[6], Ringkasnya, ketika remaja
Isma’il dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa
tertarik kepadanya, lalu mereka mengawinkannya dengan salah seorang
wanita golongan mereka dan saat itu ibu Isma’il sudah meninggal dunia.
Maka suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya
setelah terjadinya pernikahan tersebut, beliau tidak mendapatkan
Isma’il, lalu beliau bertanya kepada istrinya mengenai suaminya, Isma’il
dan kondisi mereka berdua. Istri Isma’il mengeluhkan kehidupm mereka
yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan agar suaminya nanti mengganti
palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma’il mengerti maksud pesan
ayahnya. Maka Isma’il menceraikan istrinya itu dan kawin lagi dengan
wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin ‘Amr, pemimpin dan pemuka kabilah
Jurhum menurut pendapat kebanyakan sejarahwan.
Setelah perkawinan Isma’il yang kedua
ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu dengan Isma’il lalu
akhirnya kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada istrinya
tersebit tentang Isma’il dan kondisi mereka berdua, isterinya memuij
kepada Allah (atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua).
Kemudian Ibrahim kembali menitip pesan lewat istri Isma’il, agar Isma’il
memperkokoh palang pintu rumahnya. Pada kedatangan yang ketiga kalinya
Ibrahim bisa bertemu dengan Isma’il, yang saat itu sedang meraut anak
panahnya di bawah sebuah pohon di dekat zamzam. Tatkala melihat
kehadiran ayahnya, Isma’il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak
yang lama tidak bersua bapaknya, begitu juga dengan Ibrahim. Pertemuan
ini terjadi setelah sekian lama yang sangat jarang dijumpai seorang ayah
yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut bisa menahan kesabaran
untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Isma’il, sebagai anak yang
berbakti dan shalih. Dan kali ini mereka berdua membangun Ka’bah dan
meninggikan pondasinya. Kemudian Ibrahim pun mengumumkan kepada khalayak
agar melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah
kepadanya.
Dari perkawinannya dengan putri
Madhdhadh, Isma’il dikaruniai oleh Allah sebanyak dua belas orang anak
yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabit atau Nabayuth, Qidar, Adba-il,
Mubsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman.
Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang
semuanya menetap di Mekkah untuk beberapa lama. Mata pencaharian
mayoritas mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan
Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbaga i penjuru
Jazirah, dan bahkan hingga keluar Jazirah, kemudian seiring dengan
pejalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak
keturunan Nabit dan Qidar.
Peradaban anak keturunan Nabit mengalami
kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka mampu mendirikan pemerintahan
yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan
Al-Bathra’ sebagai ibukotanya. Tak seorangpun yang mampu melawan mereka
hingga datangnya pasukan Romawi yang berhasil melindas mereka.
Sekelompok Peneliti berpendapat bahwa raja-raja keturunan keluarga besar
Ghassan, termasuk juga kaum Anshor dari suku Aus dan Khazraj bukan
berasal dari keturunan keluarga besar Qahthan, tetapi mereka adalah dari
keturunan keluaraga besar Nabit, anak Isma’il dan sisa-sisa mereka
masih berada di kawasan itu, dan pendapat ini diambil oleh Imam Bukhari
sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa anak
keturunan keluarga besar Qahthan adalah berasal dari keturunan keluarga
besar Nabit.[7]
Adapun anak keturunan Qidar bin Isma’il
masih menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan ‘Adnan
dan anaknya Ma’ad. Dari dialah orang-orang Arab Adnaniyah menisbatkan
nasab mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh satu dalam
silsilah keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Diriwayatkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, jika beliau menyebutkan nasabnya dan
sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli
silsilah nasab banyak yang berdusta”, lalu beliau tidak
melanjutkannya.[8] Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari
Adnan ke atas dan melemahkan (mendho’ifkan) hadits yang mengisyaratkan
hal itu (hadits yang disebut diatas). Menurut mereka berdasarkan
penelitian yang detail; sesungguhnya antara Adnan dan Ibrahim
‘Alaihis-Salam terdapat empat puluh keturunan.[9]
Keturunan Ma’ad dari anaknya, Nizar
telah berpencar kemana-mana (menurut suatu pendapat, Nizar adalah
satu-satunya anak Ma’ad). Dan Nizar sendiri mempunyai empat orang anak,
yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad,
Anmar, Rabi’ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling
banyak marga dan sukunya. Sedangkan dari Rabi’ah muncul Asad bin
Rabi’ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak Wa-il ;Bakr dan Taghlib, Hanifah
dan lain-lainnya.
Sedangkan kabilah Mudhar berkembang
menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais ‘Ailan bin Mudhar dan
marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dan dari Qais ‘Ailan muncul Bani Sulaim,
Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Kemudian dari Ghathafan muncul ‘Abs,
Dzibyan, Asyja’ dan Ghany bin A’shar.
Dari Ilyas bin Mudhar muncul Tamim bin
Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga
Kinanah bin Khuzaimah. Dan dari Kinanah muncul Quraisy, yaitu anak
keturunan Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa
kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, ‘Udai, Makhzum, Tim, Zuhrah
dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay, Asad bin
Abdul ‘Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay.
Sedangkan Abdu Manaf mempunyai empat
anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah
keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaanya muncul Muhammad bin
Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memilih
isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan
Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani
Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturuan Bani Hasyim.”
(H.R. Muslim)
Dari al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan
makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan
sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu
menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa
keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka
aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga
diantara mereka.” (HR. at-Tirmidzi)
Setelah anak-anak ‘Adnan beranak-pinak,
mereka berpencar diberbagai tempat di penjuru jazirah Arab, menjelajahi
tempat-tempat yang banyak curah hujannya dan ditumbuhi oleh tanaman.
Abdul Qais dan keturunan Bakr bin Wa-il
serta keturunan Tamim pindah ke Bahrain[10] dan menetap di sana.
Sedangkan Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakr bergerak menuju
Yamamah dan singgah di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin
Wa-il menetap di berbagai penjuru tanah Jazirah, mulai dari Yamamah,
Bahrain, Saif Kazhimah hingga mencapai laut, kemudian tanah kosong Iraq,
al-Ablah hingga Haita.
Taghlib menetap di Jazirah dekat kawasan
Eufrat, diantaranya terdapat suku-suku yang pernah hidup berdampingan
dengan (kabilah) Bakr sedangkan Bani Tamim menetap di daerah pedalaman
Bashrah.
Bani Sulaim menetap dekat Madinah, dari
Wadi al-Qura hingga ke Khaibar hingga bagian timur Madinah mencapai
batas dua gunung hingga berakhir di kawasan pegungan Hurrah.
Sementara Tsaqif menetap di Tha’if dan
Hawazin di timur Makkah dipinggiran Authas yaitu dalam perjalanan antara
Makkah dan Bashrah.
Dan Bani Asad bermukim di timur Taima’
dan barat Kufah. Mereka dan Taima’ diantarai perkampungan Buhtur dari
suku Thayyi’. Sedangkan masa perjalanan mereka dan Kufah ditempuh selama
lima hari. Ada lagi suku Dzubyan yang bermukim di dekat Taima’ menuju
Huran.
Di Tihamah tersisa beberapa suku-suku
Kinanah, sedangkan di Makkah tinggal suku-suku Quraisy. Mereka
berpencar-pencar dan tidak ada sesuatupun yang bisa menghimpun mereka,
hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang menyatukan mereka dan
membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan dan martabat
mereka.[11]
dipublikasikan www.KisahIslam.net
0 komentar:
Posting Komentar