Senin, 29 Juni 2015

Sirah Nabi: Letak Strategis Dunia Arab & Suku-Sukunya




Adapun Arab Musta’ribah, mereka merupakan cikal bakal dari nenek moyang mereka yang tertua Ibrahim ‘Alaihis-Salam, yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah kota yang disebut Ar, dan terletak di pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak upaya penggalian dan pengeboran yang dilakukan untuk mengungkap rincian yang mendetail tentang kota ini dan keluarga Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam serta kondisi religius dan sosial yang ada di negeri itu.
Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim ‘ Alaihis Salam hijrah dari Iraq ke Hâran atau Hirran, termasuk pula ke Palestina, dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan/markas dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri pelosok negeri ini dan lainnya[1], dan beliau pernah sekali mengunjungi Mesir. Fir-‘aun (sebutan bagi penguasa Mesir) kala itu berupaya untuk melakukan tipu daya dan niat buruk terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah membalas tipu dayanya (senjata makan tuan). Dan tersadarlah Fir’aun itu betapa kedekatan hubungan Sarah dengan Allah hingga akhirnya ia jadikan anaknya,[2] Hajar sebagai abdinya (Sarah). Hal itu dia lakukan sebagai tanda pengakuannya terhadap keutamaannya, kemudian dia (Hajar) dikawinkan oleh Sarah dengan Ibrahim.[3] Ibrahim Alaihis Salam kembali ke Palestina dan Allah menganugerahinya Isma’il dari Hajar. Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim untuk mengekstradisi Hajar dan putranya yang masih kecil, Isma’il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman (gersang dan tandus) di sisi Baitul Haram, yang saat itu hanyalah berupa gunduka~gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim, Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan mereka berdua di dalam tenda, diatas mata air zamzam, bagian atas masjid. Dan pada saat itu tak ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan didekat mereka kantong kulit yang berisi kurma, dan wadah air. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Berselang beberapa hari kemudian, bekal dan air pun habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Disana tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua hingga batas waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.[4]
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang setelah itu dan bermukim di Mekkah atas perkenan dari ibu Isma’il . Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, tepatnya di lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Isma’il dan ibunya, sebelum Isma’il menginjak remaja. Mereka sudah biasa melewati lembah Makkah ini sebelum itu.[5]
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah untuk menjenguk keluarganya. Dalam hal ini tidak diketahui berapa kali kunjungan/perjalanan yang dilakukannya, Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali. Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an, bahwa Dia Ta’ala memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya seolah-olah dia menyembelih anaknya, Isma’il. Maka beliau langsung melaksanakan perintah ini. Allah ta’ala berfirman :
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim menbaringkan onaknya atar pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan, kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mrmbenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. ” (Ash-Shaffat: 103-107).
Disebutkan di dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Isma’il selisih tiga belas tahun lebih tua dari Ishaq. Secara tekstual, kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu tejadi sebelum kelahiran Ishaq sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah pengupasan kisah ini secara keseluruhan.
Setidak-tidaknya kisah ini mengandung satu kisah perjalanan sebelum Isma’il menginjak remaja. Sedangkan tiga kisah selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu ‘Abbas secara marfu'[6], Ringkasnya, ketika remaja Isma’il dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa tertarik kepadanya, lalu mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita golongan mereka dan saat itu ibu Isma’il sudah meninggal dunia. Maka suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya setelah terjadinya pernikahan tersebut, beliau tidak mendapatkan Isma’il, lalu beliau bertanya kepada istrinya mengenai suaminya, Isma’il dan kondisi mereka berdua. Istri Isma’il mengeluhkan kehidupm mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan agar suaminya nanti mengganti palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma’il mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma’il menceraikan istrinya itu dan kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin ‘Amr, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum menurut pendapat kebanyakan sejarahwan.
Setelah perkawinan Isma’il yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu dengan Isma’il lalu akhirnya kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada istrinya tersebit tentang Isma’il dan kondisi mereka berdua, isterinya memuij kepada Allah (atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua). Kemudian Ibrahim kembali menitip pesan lewat istri Isma’il, agar Isma’il memperkokoh palang pintu rumahnya. Pada kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu dengan Isma’il, yang saat itu sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Isma’il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, begitu juga dengan Ibrahim. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama yang sangat jarang dijumpai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Isma’il, sebagai anak yang berbakti dan shalih. Dan kali ini mereka berdua membangun Ka’bah dan meninggikan pondasinya. Kemudian Ibrahim pun mengumumkan kepada khalayak agar melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.
Dari perkawinannya dengan putri Madhdhadh, Isma’il dikaruniai oleh Allah sebanyak dua belas orang anak yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabit atau Nabayuth, Qidar, Adba-il, Mubsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk beberapa lama. Mata pencaharian mayoritas mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbaga i penjuru Jazirah, dan bahkan hingga keluar Jazirah, kemudian seiring dengan pejalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabit dan Qidar.
Peradaban anak keturunan Nabit mengalami kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan Al-Bathra’ sebagai ibukotanya. Tak seorangpun yang mampu melawan mereka hingga datangnya pasukan Romawi yang berhasil melindas mereka. Sekelompok Peneliti berpendapat bahwa raja-raja keturunan keluarga besar Ghassan, termasuk juga kaum Anshor dari suku Aus dan Khazraj bukan berasal dari keturunan keluarga besar Qahthan, tetapi mereka adalah dari keturunan keluaraga besar Nabit, anak Isma’il dan sisa-sisa mereka masih berada di kawasan itu, dan pendapat ini diambil oleh Imam Bukhari sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa anak keturunan keluarga besar Qahthan adalah berasal dari keturunan keluarga besar Nabit.[7]
Adapun anak keturunan Qidar bin Isma’il masih menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan ‘Adnan dan anaknya Ma’ad. Dari dialah orang-orang Arab Adnaniyah menisbatkan nasab mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh satu dalam silsilah keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta”, lalu beliau tidak melanjutkannya.[8] Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas dan melemahkan (mendho’ifkan) hadits yang mengisyaratkan hal itu (hadits yang disebut diatas). Menurut mereka berdasarkan penelitian yang detail; sesungguhnya antara Adnan dan Ibrahim ‘Alaihis-Salam terdapat empat puluh keturunan.[9]
Keturunan Ma’ad dari anaknya, Nizar telah berpencar kemana-mana (menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma’ad). Dan Nizar sendiri mempunyai empat orang anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi’ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Sedangkan dari Rabi’ah muncul Asad bin Rabi’ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak Wa-il ;Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.
Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais ‘Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dan dari Qais ‘Ailan muncul Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Kemudian dari Ghathafan muncul ‘Abs, Dzibyan, Asyja’ dan Ghany bin A’shar.
Dari Ilyas bin Mudhar muncul Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dan dari Kinanah muncul Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, ‘Udai, Makhzum, Tim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay, Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay.
Sedangkan Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaanya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memilih isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturuan Bani Hasyim.” (H.R. Muslim)
Dari al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka.” (HR. at-Tirmidzi)
Setelah anak-anak ‘Adnan beranak-pinak, mereka berpencar diberbagai tempat di penjuru jazirah Arab, menjelajahi tempat-tempat yang banyak curah hujannya dan ditumbuhi oleh tanaman.
Abdul Qais dan keturunan Bakr bin Wa-il serta keturunan Tamim pindah ke Bahrain[10] dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakr bergerak menuju Yamamah dan singgah di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa-il menetap di berbagai penjuru tanah Jazirah, mulai dari Yamamah, Bahrain, Saif Kazhimah hingga mencapai laut, kemudian tanah kosong Iraq, al-Ablah hingga Haita.
Taghlib menetap di Jazirah dekat kawasan Eufrat, diantaranya terdapat suku-suku yang pernah hidup berdampingan dengan (kabilah) Bakr sedangkan Bani Tamim menetap di daerah pedalaman Bashrah.
Bani Sulaim menetap dekat Madinah, dari Wadi al-Qura hingga ke Khaibar hingga bagian timur Madinah mencapai batas dua gunung hingga berakhir di kawasan pegungan Hurrah.
Sementara Tsaqif menetap di Tha’if dan Hawazin di timur Makkah dipinggiran Authas yaitu dalam perjalanan antara Makkah dan Bashrah.
Dan Bani Asad bermukim di timur Taima’ dan barat Kufah. Mereka dan Taima’ diantarai perkampungan Buhtur dari suku Thayyi’. Sedangkan masa perjalanan mereka dan Kufah ditempuh selama lima hari. Ada lagi suku Dzubyan yang bermukim di dekat Taima’ menuju Huran.
Di Tihamah tersisa beberapa suku-suku Kinanah, sedangkan di Makkah tinggal suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatupun yang bisa menghimpun mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang menyatukan mereka dan membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan dan martabat mereka.[11]

dipublikasikan www.KisahIslam.net

0 komentar:

Posting Komentar