Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya, orang-orang terdahulu (para ulama salaf,
-red.) diam karena ilmu. Mereka pun menahan diri (dari sesuatu) karena
mata hati yang tajam. Sungguh, mereka lebih mampu meneliti (sebuah
masalah) kalau mereka mau melakukannya.”
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Sungguh, banyak orang belakangan yang tertipu dengan hal
ini. Mereka menyangka bahwa siapa yang banyak bicara, debat, dan
perbantahannya dalam masalah agama, berarti dia lebih berilmu. Ini
adalah murni kebodohan. Lihatlah para sahabat senior dan ulama mereka,
seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhum. Betapa sedikit ucapan mereka dibandingkan dengan
ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, padahal mereka lebih berilmu.
Ucapan generasi setelah tabi’in pun lebih banyak daripada ucapan
generasi sahabat, padahal generasi sahabat lebih berilmu. Ucapan
generasi setelah tabi’in pun lebih banyak daripada ucapan generasi
tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih berilmu. Jadi, ilmu bukan karena
banyaknya riwayat dan ucapan, melainkan cahaya yang diletakkan di
kalbu. Dengan cahaya itu, seorang hamba akan mengenal dan bisa
membedakannya dengan kebatilan….”
(Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, hlm. 82-83)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 88/VII/1433 H/2012, rubrik Permata Salaf.
Dipublikasikan kembali oleh: www.KisahIslam.net
0 komentar:
Posting Komentar